Senin, 21 September 2020

SEKOLAH IBU KOTA BOGOR

 

Dari Hati akan Sampai Kehati

Sekolah Ibu Kota Bogor adalah  program yang di inisiasi oleh TP PKK Kota Bogor yang di ketuai oleh Ibu Hj.Yane Bima Arya, MSi. Sebuah program mulia yang ditujukan untuk semua para ibu di Kota Bogor.  Dengan harapan akan hadir para ibu yang cerdas dan tangguh,  sehingga bisa menjalankan perannya yang begitu banyak di rumahnya dengan penuh rasa bahagia dan bertanggung jawab. Dari ibu yang berilmu dan bahagia diharapkan akan terciptanya keluarga-keluarga yang tangguh, yang memiliki ketahanan keluarga, mampu menghadapi setiap permasalahan dan perubahan jaman.

            Sekolah Ibu tidak bisa dibanding-bandingkan dengan program lain atau kelas parenting yang sudah ada sebelumnya. Karena karakteristik dan segmennya sangat berbeda. Sekolah Ibu hadir sebagai bentuk kepedulian pemerintah, khususnya Kota Bogor dan TP PKK Kota Bogor  dalam menciptakan keluarga yang kuat dan tangguh, sejahtera dan bahagia. Sehingga bisa menjadi contoh bagi keluarga-keluarga di lingkungan sekitar. Diharapkan dari keluarga-keluarga  tersebut juga  akan lahir generasi baru yang mampu membangun peradaban bangsa.

            Sesuatu yang di kerjakan dari hati akan sampai ke hati. Itulah adanya Sekolah Ibu Kota Bogor. Respon yang baik yang ditunjukkan oleh para peserta di wilayah membuktikan bahwa program ini begitu banyak memberi manfaat bagi mereka juga bagi para pengajar itu sendiri. Hingga saat ini, saya masih sering mendapat pesan dari peserta yang begitu merindukan suasana dan kegiatan Sekolah Ibu.

 

Sekolah Ibu Sekolah Kehidupan

Ada banyak cerita dan pengalaman yang tak terlupakan selama menjadi pengajar Sekolah Ibu. Baik pengalaman yang dialami oleh saya dan partner mengajar, maupun pengalaman dan cerita yang dibagi oleh para peserta diwilayah. Dan  dari  cerita  peserta sekolah ibu  saya banyak belajar tentang kehidupan yang sesungguhnya. Cerita mereka menggambarkan potret kehidupan masyarakat di wilayah pinggiran Kota Bogor. Qadarullah saya mengajar selama 4 angkatan di 3 kelurahan yang berbeda di wilayah Bogor Selatan. Yang pertama di kelurahan Cikaret, yang jarak tempuh ke pusat kota tidak terlalu jauh. Yang kedua di Kelurahan Bojongkerta, dimana jarak tempuh ke pusat kota itu lumayan jauh. Kalau pakai angkutan kota agak ribet dan memakan waktu lumayan lama. Allhamdulillah saya bisa menghemat waktu karena mengendarai motor sendiri. Ada sedikit cerita saat penempatan para pengajar di angkatan kedua ini. Saat itu saya sempat berucap, “ditempatkan dimana saja saya siap, walaupun itu di ujung berung”. Dan saat pengumuman penempatan pengajar, akhirnya saya memang ditempatkan di wilayah paling ujung di Bogor Selatan. Jadi hati-hati dengan ucapan ya, karena katanya ucapan itu adalah doa. Alhamdulillah angkatan ke 3 dan ke 4, saya ditempatkan di kelurahan Kertamaya yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Saya belajar tentang kesabaran dari seorang peserta yang memiliki pasangan yang memiliki kekurangan di pendengarannya. Sehingga untuk berkomunikasi dengan suaminya diperlukan kesabaran tingkat dewa.  Atau cerita seorang peserta yang dulu pernah hampir mau dijual oleh ibu kandungnya sendiri. Ada juga cerita yang membahagiakan, ketika seorang peserta ternyata saat ikut Sekolah Ibu kondisi rumah tangganya sedang bermasalah dan sudah pisah rumah. Dipertemuan ke 5 atau ke 6, ibu tersebut baru bercerita bahwa dia rujuk dengan suaminya dan sudah tinggal serumah kembali. Rasanya terharu dan ikut berbahagia akhirnya mereka bisa melewati masa kritis dalam perjalanan rumah tangganya. Ada juga cerita lucu dari seorang peserta yang mengaku galak dan tidak pernah mau mencium tangan suami selain hari lebaran. Dan setelah ikut Sekolah Ibu, ibu itu mengaku banyak perubahan terutama sikapnya pada suami. “Sekarang saya tidak galak lagi dan selalu mencium tangan saat pamit ketika akan pergi”. Alhamdulilah.  Saya belajar tentang kesungguhan dan semangat dari seorang peserta yang jarak rumahnya ke kelurahan itu cukup jauh. Tapi jarak yang jauh dan ongkos ojek yang mahal tidak menghalanginya untuk selalu hadir disetiap pertemuan Sekolah ibu. Cerita-cerita itulah yang menjadi kekuatan dan semangat bagi saya untuk melangkahkan kaki  disetiap hari Senin dan Kamis, jadwal Sekolah Ibu dilaksanakan.

Disekolah Ibu saya pun belajar apa arti  bekerjasama, saling menghormati dan menghargai  dengan pasangan mengajar. Saling menyemangati dan memberi kesempatan untuk ikut berperan di dalam kelas. Bertemu untuk pertama kalinya di hari pertama dengan partner mengajar  pernah saya alami. Belum pernah bertemu sebelumnya bahkan wajahnya pun tidak tidak tahu seperti apa. Tapi karena saya dan pasangan mengajar memiliki niat yang sama,  masa adaptasi berjalan dengan mudah. Disitulah kita saling belajar dan mengenal satu sama lain sehingga kita bisa memberikan yang terbaik kepada peserta Sekolah Ibu di wilayah.  

 

Takdir Allah itu begitu indah

 

            Bagi saya, menjadi salah satu pengajar Sekolah Ibu Kota Bogor adalah sebuah perjalanan hidup yang telah Allah takdirkan dengan begitu indah. Sebuah pengalaman luar biasa yang amat sangat berharga . Sekolah Ibu tidak hanya memberi manfaat untuk para ibu di wilayah Kota Bogor. Tapi juga memberi pencerahan luar biasa untuk saya pribadi sebagai pengajar. Karena sesungguhnya, saat kita berdiri dihadapan para ibu di wilayah,  bukan berarti kita adalah manusia sempurna dengan keluarga ideal tanpa masalah. Saya bisa menyampaikan materi Sekolah Ibu dengan yakin dan percaya diri, karena saya sudah merasakan begitu banyak manfaat dan kebaikan dalam materi tersebut. Bagi saya,  Sekolah Ibu  hadir sebagai salah satu penguat disaat ada konflik dalam keluarga, apalagi disaat kondisi pandemi seperti saat ini.

            Sekolah Ibu memberikan saya banyak kesempatan untuk belajar dan mendapatkan ilmu tentang ketahanan keluarga, mengenal watak dan kepribadian, ilmu tentang manajemen keuangan hingga manajemen konflik dan banyak lagi ilmu-ilmu lainnya. Sekolah Ibu jugalah yang telah membuka jalan hingga saya bisa menjejakan kaki di wilayah yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. (Jadi ketahuan kalau saya ‘kuper’ alias kurang pergaualan yah!). Sekolah Ibu pun telah  memberi saya kesempatan untuk bertemu dan mengenal 30 orang  peserta di setiap kelurahannya.  Dan semuanya adalah para ibu dengan rentang usia 20 sampai dengan 45 tahun.  30 orang ibu dikali 4 kelurahan, berarti selama kurun waktu 2018-2019 saya telah berinteraksi dengan  120 orang ibu. MasyaAllah. Dipertemukan dengan para peserta Sekolah Ibu di wilayah yang berbeda adalah sebuah takdir dan karunia yang amat besar, tidak bisa dinilai dengan materi.

            Sekolah Ibu adalah ladang untuk meraih pahala jika dikerjakan dengan penuh keikhlasan hanya megharap ridho Allah semata. Pengabdian tanpa batas tidak peduli siapa kita dan menjadi apa kita. Karena sesungguhnya sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Semoga kita semua bisa menjaga hati dan niat kita dalam menjalankan peran yang diamanahkan sebagai pengajar Sekolah Kota Bogor. Aamiin Yaa Rabbal’alamin.

Jumat, 18 Maret 2016

MENGENAL LEBIH DEKAT LANUD ATANG SANDJAJA BOGOR







Tugu Helicopter Lanud Atang Sandjaja


     
        Bulan Januari lalu, tepatnya  tanggal 28 Januari 2016, PAUD Bina Balita Sehat Sejahtera berkesempatan untuk mengunjungi Landasan Udara yang ada di kota Bogor, yaitu Lanud Atang Sandjaja yang beralamat di Jalan  Semplak Kecamatan Kemang  Bogor Barat. Kegiatan outing class ini dilaksanakan sesuai dengan tema pembelajaran yang sedang berjalan yaitu tentang alat transportasi atau kendaraan, rekreasi dan pekerjaan. 

            Pagi itu Bis Angkatan Udara berwarna biru tua sudah menanti murid-murid PAUD BBSS dan para guru di kawasan BNR, tepatnya di depan Pom Bensin dekat Jungle Fest. Ya, hari itu kami di jemput khusus oleh Bis Angkatan Udara  menuju Lanud Atang Sandjaja. Sebelum kami memulai perjalanan, terlebih dahulu Ibu guru membacakan tata tertib selama kunjungan berlangsung, kemudian di lanjutkan dengan membaca doa naik kendaran. Dan kami pun siap untuk menempuh perjalanan menuju Lanud Atang Sandjaja.  

Pengalaman bepergian dengan menggunakan bis menjadi pengalaman pertama dan menyenangkan untuk anak-anak PAUD BBSS. Apalagi mereka bepergian hanya bersama teman-teman sekolah tanpa di dampingi oleh orangtua. Jadilah perjalanan yang seru dan ramai dengan berbagai celotehan khas anak-anak di sepanjang perjalanan. Ada yang bernyanyi-nyanyi, tapi ada juga masih terkantuk-kantuk, mungkin masih mengantuk, ya, karena mereka sudah harus bersiap-siap sejak pagi. Alhamdulillah, rasa kuatir bila ada anak-anak yang mabuk perjalanan atau menangis karena berpisah untuk sementara dengan mamahnya,  ternyata tidak terjadi. Semuanya aman dan lancar terkendali.  Dan akhirnya kami pun tiba sampai tujuan dengan selamat. 

Salah satu Helicopter yang ada di Lanud ATS


 
Tiba di Lanud Atang Sandjaja, pemandangan kami langsung tertuju kepada   sebuah Helikopter yang sedang bersiap-siap untuk take off di landasan berumput yang terhampar luas. Hari itu kegiatan di Lanud Atang Sandjaja memang cukup padat karena ada para pilot yang sedang latihan. Inginnya sih, anak-anak ini tetap ada di pinggir landasan untuk melihat gagahnya helikopter berwarna hijau loreng. Tapi, kita harus masuk dulu ke dalam ruangan untuk mendengarkan penjelasan dari para Pak Firman, salah seorang prajurit Angkatan Udara.




Bapak firman sedang menjelaskan tipe-tipe helicopter


Di dalam ruangan ini kami mendapat penjelasan tentang tipe-tipe helicopter yang ada di Lanud Atang Sandjaja. Mulai  dari Helicopter yang ukurannya kecil, yang hanya bisa memuat 2 orang penumpang, sampai Helicopter   yang memuat sampai 27 orang penumpang. Di Lanud Atang Sendjaja juga ada helicopter Tim SAR dengan warnanya yang khas yaitu Orange. 



Pak Pilot sedang menunjukkan helm


 Tak ketinggalan Bapak Pilot pun ikut memberikan penjelasan tentang perlengkapan yang biasa digunakan seorang pilot. Salah satunya adalah sebuah Helm beserta perangkatnya, yaitu sebuah microfone yang menempel di Helm sebagai salah satu alat komunikasi dengan pihak Air Traffic Control.






Ruang Simulator Pilot



Setelah puas mendengarkan penjelasan tentang tipe-tipe Helicopter, perjalanan kami lanjutkan untuk mengunjungi sebuah tempat yang di beri nama Ruang Simulator untuk Pilot. 


 
di ruang simulator Pilot



Sayangnya kami tidak bisa masuk ke dalam ruang simulator itu karena ada pilot beserta co pilot yang sedang berlatih. Tapi dari luar kami bisa melihat bagaimana ruang simulator itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin.  Menurut penjelasan petugas disana, gerakan atau bergoyangnya ruang simulator yang berwarna putih itu menunjukkan bila pilot dan co pilot sedang menempuh penerbangan dengan kondisi cuaca yang tidak baik.

           Ruang Simulator ini di design benar-benar sama dengan ruang kokpit pesawat. Setiap harinya, para pilot dan co pilot ini diberi tugas atau misi untuk menyelesaikan penerbangan dengan kondisi-kondisi tertentu. Mulai dari kondisi yang biasa sampai kondisi yang ekstrem. Tujuan tentu saja untuk melatih dan meningkatkan kemampuan para pilot dan co pilot dalam mengawaki pesawat ataupun  helicopter 



Perjalanan kami ditutup dengan mengunjungi hanggar, dimana kurang lebih  3 sampai 4 buah helicopter SAR ada disana. Senangnya anak-anak bisa memegang dan menaiki helicopter. Walaupun hanya duduk-duduk dan berfoto, itu semua sudah cukup memuaskan mereka. 



  Dan akhirnya kunjungan kami di Lanud ATS pun berakhir dengan amat sangat mengesankan. Ada banyak pengalaman dan cerita yang anak-anak dan ibu guru dapatkan. Belajar itu tidak hanya melulu di dalam kelas, tapi dengan mengunjungi tempat-tempat seperti ini pun sama dengan belajar. Karena proses belajar anak usia dini memang berbeda dengan orang dewasa. Mereka perlu benda-benda konkret atau nyata, mereka juga butuh pengalaman untuk menguatkan daya pikirnya. Sehingga semua aspek perkembangan yang dibutuhkan oleh anak-anak akan terpenuhi. Belajar sambil bermain, bermain sambil belajar, itulah dunia anak, Dunia Anak Usia Dini, yang sehat, cerdas dan ceria... 

               Sampai Jumpa dalam kegiatan PAUD BBSS selanjutnya. Salam Pembelajar.



 

Selasa, 29 Desember 2015

Mengenang 10 Tahun Perjalanan Ke Aceh



 


Hanya hitungan hari, tahun 2015 akan segera berlalu. Banyak peristiwa, cerita dan kenangan telah mengisi lembaran hidupku selama tahun 2015 ini. Diantara semua moments yang paling berkesan adalah bertemu dengan seorang teman yang memotivasi untuk kembali aktif  ngeblog. Bergabung dengan komunitas baru dan bertemu dengan teman-teman baru yang kece and smart abizz.  Dan untuk menutup tahun 2015 ini, aku ingin menuliskan kembali perjalananku ke Aceh 10 tahun yang lalu, atau tepatnya di tahun 2005. Sebuah perjalanan yang tak kan pernah terlupakan, dan akan  menjadi bagian dari sejarah perjalanan hidupku kelak yang bisa kubagi dengan anak-cucu. Ehemmm...


Tak Ada Yang Kebetulan Dalam Hidup ini, Apapun Bisa Terjadi Bila Allah Berkehendak

Ungkapan itu sepertinya cocok untuk menggambarkan apa yang terjadi 10 tahun yang lalu. Bulan Maret 2005, telepon dari kepala sekolah siang itu mengagetkanku. Intinya sih,  saat itu aku diminta untuk menggantikan guru yang seharusnya berangkat ke Aceh. Ternyata temanku itu tidak di ijinkan berangkat ke Aceh oleh orangtuanya. Masuk di akal jugalah kenapa orangtuanya tidak mengijinkan, karena saat itu  baru 3 bulan yang lalu Aceh di terjang Tsunami yang maha dahsyat. Tepatnya tanggal 26 Desember 2004. Kondisi disana yang belum kondusif , membuat ortu temanku itu kuatir dan takut, aku juga sama sih sebenarnya, takut.

 Buatku ini adalah sebuah kejutan yang tidak kalah dahsyatnya dengan tsunami itu sendiri. Mimpi apa ya aku semalam?. Bingung deh pokoknya, antara percaya dan tidak. Bingung juga bagaimana menjelaskan ke suami. Karena kalau aku berangkat berarti harus meninggalkan suami dan anakku yang waktu itu masih berumur  2.5 tahun selama 5 hari. Padahal sebelumnya aku tuh belum pernah pergi tanpa membawa anak, apalagi sampai menginap berhari-hari segala. 

 Alhamdulillah suami mengijinkan, dan ada mamah yang jagain si sulung Irham Nurushidqi. Waktu keberangkatan sudah  semakin dekat. Makin dekat hari H, makin ngga bisa tidur. Ngga terbayang  bagaimana kondisi di sana, apa saja yang harus aku persiapkan. Bekal apa yang harus dibawa, secara aku tuh belum pernah yang namanya pergi atau bahasa kerennya travelling gitu. Aku juga kepikiran naik pesawat itu kayak gimana ya..., jujur saja, aku kan belum pernah naik pesawat, hehehe...  ngga apa-apa deh dikatain norak juga.

Setelah briefing dari Direktur Yayasan Yasmina ibu Iis Istiqomah, tentang maksud dan tujuan ke Aceh, lumayan deh menghilangkan rasa galau dan takut. Aku berangkat berdua dengan Pak Taufik, beliau yang akan presentasi di sana. Aku juga banyak bertanya sama orang-orang yang biasa travelling apa saja yang harus aku persiapkan, mulai dari bekal pakaian, makanan ringan (jaga-jaga kalau ngga nemu makanan gitu),  obat-obatan, makalah, buku-buku, dan lain-lainnya.  

Masih dalam ketidakpercayaan yang amat sangat, tapi aku meyakini bahwa perjalananku hari itu bukan sebuah kebetulan. Tapi sebuah takdir yang Allah telah gariskan untukku. Apapun bisa terjadi jika Allah berkehendak.


Selamat Datang di Aceh

Dan akhirnya perjalananpun di mulai. Hari Rabu, 9 Maret 2005, pukul 06.00 pagi, dengan pesawat Garuda aku terbang menuju Aceh. Perasaanku saat berjalan menyusuri lorong menuju ke dalam pesawat  campur aduk. Deg-degan, takut tapi  excited. Transit di bandara Polonia Medan, kemudian melanjutkan penerbangan dan sampailah di bandar udara Sultan Iskandar  Muda, Banda Aceh. Lupa-lupa ingat jam berapa ya waktu itu sampai di bandara Aceh, kalau ngga salah sekitar jam 11 gitu deh.  

Siang itu kami sambut oleh mas saiful, seorang relawan dan mahasiswa di Aceh. Ada pengalaman lucu, mereka menganggap aku adalah Rosalina Kusumah, tim dari Bogor yang datang ke Aceh. Ternyata belum dikonfirmasi ulang kalau yang berangkat bukan Bu Rosa, Tapi aku, Bu Ani hehehe.  Dan ternyata dalam tiket pesawatpun yang tertera namanya Rosalina Kusumah, bukan nama aku, duuh.. untung ngga terjadi apa-apa ya. 

Pemandangan pertama yang aku lihat di bandara adalah beberapa tenda pengungsi di sekitar kawasan bandara.  Daerah Bandara memang tidak terjangkau oleh tsunami. Secara umum kondisi Banda Aceh saat aku kesana saat itu sudah relatif rapi. Jalan-jalan sudah bersih dari material yang terbawa tsunami. Gedung-gedung yang rubuh pun sudah dirapikan. Perjalanan pertama kami adalah  mengunjungi kamp pengungsi di daerah Matai, Banda Aceh. Dalam satu tenda besar itu terdiri dari beberapa keluarga. Waktu itu aku tidak terlalu banyak bercakap-cakap dengan para pengungsi,  bingung harus bicara apa ketika berhadapan dengan  mereka.  Sedih dan ikut prihatin pastilah.  Kami di sana ngga terlalu lama. Setelah melihat-lihat beberapa tenda dan menyapa beberapa pengungsi, kemudian perjalanan dilanjutkan ke daerah Aceh Besar, kawasan Pesantren Darul Fallah.  Kami menginap di sana, di sebuah rumah panggung yang mereka sebut Bale. Disanalah kegiatan Workshop tentang Posyandu Plus diselenggarakan.  Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 40 orang. Mereka ibu-ibu kader, guru TK, ada juga bidan dan penyuluh.  Tiga bulan pasca tsunami, sudah tidak terlihat wajah muram dan sedih. Mereka bisa mengikuti kegiatan dengan ceria, bercanda dan tertawa. Kata mereka, air mata kami sudah habis. Ya, karena air mata tak kan mampu membawa kembali apa yang sudah hilang. 

Para relawan, Tim dari Plan Indonesia, Bp, Taufik 

 Kegiatan selama 3 hari lumayan padat. Dimulai jam 08.00 pagi sampai jam 16.00, kemudian dilanjutkan sehabis maghrib. Alhamdulillah disela-sela waktu yang padat itu, panitia memberi waktu kami untuk berkeliling kota Banda Aceh. Sayangnya aku ngga bawa kamera waktu itu. Untungnya ada anak mahasiswa yang mau meminjamkan kamera pocketnya. Walaupun sudah agak rusak, tapi lumayanlah untuk mengabadikan tempat-tempat yang bersejarah saat tsunami melanda. 

Sore itu aku diajak sholat ashar di mesjid Baiturrahman di Banda Aceh, Mesjid dimana menjadi saksi dan tempat di mana ratusan orang menyelamatkan diri saat tsunami meluluh lantahkan kota Banda Aceh.  Dalam perjalanan aku juga melihat sebuah tenda dari relawan asing yang sedang membagikan roti. Para pengungsi berbaris rapi menunggu giliran.  Disepanjang  jalan aku juga melihat banyak mobil  dengan kondisi yang rusak dan penyok  karena hantaman tsunami. Toko-toko yang tidak rusak di kota Banda Aceh sudah banyak yang buka. Pedagang kaki lima pun sudah banyak yang berjualan. Sayangnya aku ngga sempat mencicipi mie Aceh dan kopi Aceh yang terkenal itu. 

di pantai  bersama mba Suhermawan seorang bidan dari Meulaboh
 
Perjalanan berlanjut ke sebuah pantai, lupa deh nama pantainya  apa. Tidak jauh dari  pantai ada sebuah makam, yang anehnya walaupun jaraknya  tidak jauh dari pantai tapi kondisinya tidak rusak atau hilang terbawa arus. Hanya pagarnya agak sedikit penyok. Itulah kekuasaan Allah.  Karena memang banyak sekali keajaiban-keajaiban yang terjadi saat itu dan menjadi saksi bisu dari sebuah peristiwa yang maha dahsyat. Seperti sebuah rumah yang relatif utuh, sementara disekelilingnya semua rumah sudah rata dengan tanah. Aku juga berkesempatan mengunjungi sebuah Kapal yang terdampar diatas sebuah rumah penduduk. Dan katanya perahu itu menyelamatkan puluhan orang saat tsunami menghadang. Dan sekarang lokasi perahu itu menjadi salah satu tempat wisata yang banyak dikunjungi orang.   

Sebuah kapal yang terdampar di atas rumah warga
 
Sebenarnya masih banyak tempat yang ingin dikunjungi, tapi berhubung hari sudah semakin malam, jadilah kami cepat-cepat kembali ke bale. Karena malam itu santri-santri akan menampilkan tarian Saman khas Aceh.  Oh ya, aku juga baru tahu, kalau di Aceh semua kendaraan roda dua itu disebutnya honda atau kereta.  Walaupun  merknya bukan honda tetap saja disebutnya honda. Selama aku  di Aceh terjadi dua kali gempa susulan. Lumayan bikin jantung deg-degan  dan sempat lari keluar rumah.

Anak-anak santri 

Hari terakhir di Aceh, Minggu pagi sebelum diantar ke bandara, aku dan pak Taufik di ajak ke daerah Lepung.  Disebelah kiri  jalan terhampar pantai, dan bangunan disepanjang pantai itu sudah tidak ada. Dan disebelah kanan adalah sebuah perbukitan dengan pohon-pohon yang lebat. Kawasan ini biasanya menjadi tempat bersembunyi kelompok GAM. Tapi setelah tsunami terjadi kawasan ini banyak dijadikan sebagai tempat pengungsi. Aku mengunjungi sebuah barak pengungsi yang sedang dibangun.  Itulah tempat terakhir yang kami kunjungi sebelum kembali ke Bogor.


Karena Ucapan yang Baik itu Sama dengan Sebuah Doa

            Anda percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut kita itu sama dengan doa?. Aku Percaya. Apalagi kalau yang diucapkan itu sesuatu yang baik,  ikhlas, dan lahir dari hati yang  paling dalam. 

Saat peristiwa tsunami terjadi, aku hampir ngga pernah melewatkan pemberitaan tentang kejadian itu dari televisi. Mantengin terus tivi sampai ngga sadar air mata ikut tumpah ruah.  Hati ini rasanya jadi ikut sakit, berduka, sedih, prihatin, kasihan dengan anak-anak kecil yang jadi korban. Banyaknya relawan yang datang dan memberi bantuan untuk warga Aceh membuat aku punya pikiran untuk bisa menjadi relawan seperti mereka. Tanpa sadar aku tuh sampai berucap, “Mau ih jadi relawan ke Aceh. Kalau ngga punya suami dan anak aku mau deh kesana”.

Dan siapa sangka ya, 3 bulan setelah peristiwa itu tiba-tiba kesempatan untuk pergi ke Aceh itu benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Allah Maha Besar.  

Apa ya hikmah dari pengalaman ini?. Ternyata Allah itu sangat dekat. Saking dekatnya, Allah maha Mengetahui apa yang ada dalam hati setiap manusia. ucapan dalam hati yang datang dengan keikhlasan dan kutulusan ternyata benar-benar bisa menjadi sebuah kenyataan, karena buat Allah semua itu mungkin, semua itu mudah, Masya Allah. 

Hikmah lain adalah, jangan pernah berhenti berdoa dan belajar, belajar apapun. Jangan pernah takut untuk bermimpi dan jangan pernah berputus asa untuk dapat meraih dan mewujudkan impian itu karena Allah senantiasa bersama kita, dalam setiap langkah dan helaan nafas kita...

Terima kasih banyak untuk Yasmina dan Sentra ADITUKA Bogor, yang telah memberi kesempatan ini. Sebuah perjalanan yang tak akan pernah terlupakan.